Akuntansi Perubahan Iklim: Sering Diabaikan Akuntan, Padahal Fungsinya Nyata untuk Alam


Dunia sedang dilanda kejadian ekstrem seperti hujan lebat, siklus tropis, kekeringan, dan gelombang panas. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi penyebab terbesar adanya perubahan alam (climate change) yang berasal dari aktivitas industri global. Menurut data National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengungkapkan bahwa tingkat konsentrasi karbon di atmosfer mencapai 417,6 ppm pada 2022. Tidak mengherankan jika perusahaan menghadapi tekanan yang besar dari masyarakat, investor, dan akademisi untuk memperhatikan aktivitas ekonomi perusahaannya terhadap dampak lingkungan yang terjadi. Tak hanya itu, Pemerintah menjadi sasaran untuk membuat kebijakan solutif dalam menekan perilaku perusahaan atas tercemarnya lingkungan.

Tanpa adanya usaha dari masyarakat, akademisi, pemerintah, dan perusahaan dalam mengatasi perubahan alam, maka dalam beberapa waktu ke depan akan terjadi kondisi tragedi di masa depan (tragedy of the horizon) (Gibbasier et al., 2020). Kondisi tersebut merupakan peristiwa kerusakan yang terjadi akibat dari perubahan iklim dan tidak dapat diperbaiki karena bersifat sistemik dan permanen hingga memengaruhi beragam sisi kehidupan manusia. Tugas menjaga dunia dari kondisi kerusakan akan perubahan iklim adalah tanggung jawab setiap orang dan kelompok sesuai dengan perannya masing-masing. Profesi akuntan menjadi salah satu kelompok yang tidak lepas dari beban dan tanggung jawab kerusakan iklim yang terjadi

Peran Akuntan dalam Akuntansi Perubahan Iklim

Akuntan adalah profesi yang bertanggung jawab terhadap pencatatan transaksi keuangan dan penerbitan laporan keuangan pada perusahaan. Dalam konteks climate change, sebuah akuntan tidak dapat bersikap pasif terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Sehingga, hal tersebut mengharuskan pemahaman yang mendalam sebuah akuntan mengenai permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi. Akuntan dapat berkontribusi secara langsung dengan memperkirakan dampak dari suatu aktivitas usaha terhadap perubahan iklim dan mampu mengungkapkannya pada laporan keuangan.

Realitasnya, selama ini banyak akuntan tidak mempertimbangkan biaya kerusakan lingkungan yang terjadi dalam laporan keuangannya. Hal tersebut terbukti pada:

  1. Aktivitas perusahaan yang tidak mencerminkan sustainable productiondengan terus berproduksi secara masif tanpa memikirkan kerusakan lingkungan yang terjadi

  2. Perusahaan tidak mempertimbangkan biaya kerusakan lingkungan sehingga mereka menetapkan harga produk rendah, maka banyak konsumen meningkatkan konsumsinya akibat price yang terlalu murah;

  3. Aktivitas produksi dan konsumsi tidak berkelanjutan berimplikasi pada eksternalitas negatif yang ditandai dengan tidak bertanggungjawabnya perilaku konsumen maupun produsen terhadap isu perubahan iklim

Seperti yang kita ketahui, Indonesia telah menandatangani Paris Agreement yang bertumpu pada pembatasan emisi karbon dalam proses produksi dengan menerapkan carbon pricing dalam wujud EST atau Carbon Tax. Kebijakan Carbon Pricing membuat perusahaan terancam terjadinya stranded assets atau aset yang tidak dapat dimanfaatkan karena aset mengalami penurunan nilai hingga harga jual aset tidak dapat menutupi biaya pengolahan aset. Industri yang rentan mengalami hal tersebut adalah industri perminyakan seperti, PT. PERTAMINA. Pada dasarnya stranded aset pada PT Pertamina sangat rentan timbul karena perusahaan tersebut membutuhkan dana untuk pengolahan bahan bakar fosil. Apalagi perusahaan akan cenderung menaikkan harga lebih tinggi dengan adanya kebijakan carbon pricing. Tentu hal tersebut akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat, yang membuat risiko stranded aset dari PT. Pertamina semakin tinggi.

Pada dasarnya, akuntan menjadi bingung dengan adanya carbon pricing dan kebijakan pemerintah terkait subsidi motor listrik yang berdampak pada besarnya tingkat risiko stranded aset. Maka dari itu, risiko tersebut tidak dapat dianggap imaterial sebab berkaitan erat dengan adanya asumsi Going Concern. Sehingga, akuntan membutuhkan metode analisis risiko untuk menguantifikasi risiko lingkungan yang terjadi untuk dicatat dalam laporan keuangan. Ketentuan pengukuran akan risiko lingkungan yang terjadi dalam laporan keuangan harus tercantum dengan baik dalam PSAK, sehingga laporan keuangan dapat mengakomodasi isu perubahan iklim

Internalisasi Akuntan pada Pelaporan Keuangan Perusahaan

Secara berkala berbagai organisasi membuat bentuk pertanggungjawaban dengan menerbitkan laporan keuangan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Berdasarkan PSAK 1, ada informasi keuangan yang harus diberikan untuk semua stakeholder. Salah satu kriteria tersebut adalah materialitas, atau dalam kata lain, informasi tersebut memberikan petunjuk terkait kelangsungan usaha dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Kejadian material di masa depan yang dapat diungkapkan dalam laporan keuangan adalah yang terjadinya melebihi jangka waktu 12 bulan.

Dampak perubahan iklim dapat terjadi secara bertahap dan dampak kerusakannya terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Dampak kerusakan yang ditimbulkan juga dapat sangat merusak ekosistem dan mengancam keberlaangsungan hidup tidak hanya manusia, tetapi juga makhuk hidup lainnya. Oleh karena itu, perubahan iklim tidak dapat diabaikan begitu saja dalam penyusunan laporan keuangan.

Banyaknya perusahaan yang memproduksi dan bergantung pada produksi bahan bakar fosil dapat menurun jumlahnya seiring dengan penurunan cadangan aset yang tersimpan di perut bumi. Adapun tuntutan di masa depan dari berbagai pihak terkait dengan peningkatan kadar CO2 di atmosfer dan emisi karbon yang tinggi.

Berbagai kondisi tersebut menyebabkan perubahan iklim dan akuntansi pemanasan global harus menjadi perhatian para akuntan. Risiko perubahan iklim perlu untuk diperhitungkan dan dicantumkan dalam laporan keuangan.

Adapun beberapa PSAK yang berpotensi terpengaruh dengan terjadinya perubahan iklim yaitu PSAK 16, PSAK 48, PSAK 55, PSAK 57, dan PSAK 68. Dalam PSAK 16, dapat disimpulkan bahwa aset tetap adalah yang akan terpengaruh oleh perubahan iklim karena aset tersebut beroperasi dalam cuaca ekstrem berpotensi untuk menurunkan nilai wajar secara signifikan sehingga diperlukan adanya revaluasi.

Dampak perubahan iklim sangat relevan dengan PSAK 48, karena perubahan iklim dapat dikatakan sebagai faktor eksternal yang dapat menurunkan nilai aset. Selain itu, Perubahan iklim dapat menurunkan kemampuan untuk melunasi utang kredit dari para debitor, sehingga instrumen keuangan juga akan menurun nilainya, hal ini tercantum dalam PSAK 55.

Dalam PSAK 57, diatur tentang kewajiban yang berpotensi terjadi di masa depan sebagai akibat di masa ini dan masa lalu. Terjadinya perubahan iklim memberikan efek berkelanjutan dalam waktu yang tidak sebentar, sehingga hal ini tidak dapat dikesampingkan.

PSAK 68 membahsa tentang faktor keusangan sebagai pengukuran nilai wajar berdasarkan  pendekatan biaya. Salah satu hal yang bisa mempengaruhi keusangan aset adalah kerusakan fisik. Beroperasinya aset dalam kondisi cuaca ekstrem dapat membuat kerusakan pada aset. Dalam hal ini, PSAK 68 juga menajdi salah satu yang dapat terpengaruh oleh perubahan iklim